Wednesday, July 20, 2011

Kebaikan Di Hari Kiamat Bagi Para Penyeru Adzan

أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(صحيح البخاري)
Berkata Abu Sa’id Alkhudriy ra :
“sungguh aku melihatmu (wahai Ayah dari Abu sha’sha;ah) suka menggembala kambing dan melewati gurun pedalaman, maka jika engkau sedang bersama gembalaanmu atau dipedalamanmu, maka (masuk waktu shalat) engkau adzan untuk shalat, keraskanlah suaramu dalam seruanmu, maka sungguh tiadalah yg mendengar suaramu ketika adzanmu dari jin, manusia dan segala sesuatu, kecuali akan bersaksi untuk penyeru (orang yg adzan itu) itu dg kebaikan di hari kiamat”, berkata abu sa’id alkhudriy kudengar ini dari Rasulullah saw. (Shahih Bukhari) 


Syafaatku Bagi Yang Mengucap Laa Ilaaha Illallah

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
(صحيح البخاري)
Sabda Rasulullah saw :
Sungguh telah kukira wahai Abu Hurairah (ra) bahwa tiada yang menanyakanku mengenai hadits ini yang pertama darimu, dari apa-apa yang kulihat atas penjagaanmu pada hadits ini, yang paling bahagia dengan syafaatku dihari kiamat adalah yang mengucap Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan Selain Allah) ikhlas dari hatinya dan dirinya” (Shahih Bukhari) 

Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي، رَأَيْتُ مُوسَى، وَإِذَا هُوَ رَجُلٌ ضَرْبٌ رَجِلٌ، كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ، وَرَأَيْتُ عِيسَى، فَإِذَا هُوَ رَجُلٌ رَبْعَةٌ أَحْمَرُ، كَأَنَّمَا خَرَجَ مِنْ دِيمَاسٍ، وَأَنَا أَشْبَهُ وَلَدِ إِبْرَاهِيمَ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهِ، ثُمَّ أُتِيتُ بِإِنَاءَيْنِ، فِي أَحَدِهِمَا لَبَنٌ، وَفِي الْآخَرِ خَمْرٌ، فَقَالَ اشْرَبْ أَيَّهُمَا شِئْتَ، فَأَخَذْتُ اللَّبَنَ فَشَرِبْتُهُ، فَقِيلَ أَخَذْتَ الْفِطْرَةَ، أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْر،َ غَوَتْ أُمَّتُكَ.
(صحيح البخاري)
Sabda Rasulullah saw : Malam aku di perjalankan (isra), kulihat Musa (as), dan ia pria yg rambutnya lurus dan rapih, seakan ia pria gagah yg berwibawa dan suci, dan kulihat Isa (as) maka ia pria yg tegap dan kulitnya kemerahan seakan keluar dari mandi bersuci, dan aku yg paling mirip dari keturunan Ibrahim saw darinya, lalu aku dibawakan dua bejana, yg satu berisi susu dan yg lainnya arak, dikatakan padaku : “minumlah salah satunya” maka kuambil susu dan aku meminumnya, maka dikatakan padaku : “kau telah memilih yg suci, dan jika kau memilih arak maka hancurlah ummatmu dg arak” (Shahih Bukhari) 

Awal Kiblat ke Arah Ka'bah

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ }
(صحيح البخاري)
“Dan bahwasanya Rasulullah SAW shalat menghadap Baitul Maqdis, selama 16 atau 17 bulan (sebagian pendapat mengatakan yang dimaksud 16,5 bulan di Madinah), dan Rasulullah SAW menginginkan shalat menghadap Ka’bah, maka Allah turunkan: KAMI (Aku) TELAH MELIHAT PANDANGANMU (wahai Muhammad SAW) SELALU MENANTI KABAR DARI LANGIT (wahyu). (dst hingga akhir ayat). QS Albaqarah 144) (Shahih Bukhari) 

Kejahatan Muslimin Yang Terbesar


قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
(صحيح البخاري)
Sabda Rasulullah saw :
“Sebesar - besar kejahatan muslimin (pada muslim lainnya) adalah yang mempermasalahkan suatu hal yang tidak diharamkan, namun menjadi haram sebab ia mempermasalahkannya (Shahih Bukhari)


Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A.Pendahuluan

Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.


Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.


Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta didik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.


Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang kedua komponen tersebut.


Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.
B. Peserta Didik

1. Pengertian Peserta Didik


Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan al-thālib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban, thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.

Kemudian, dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.


Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.


2. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik


Agar proses pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya. Al-Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu:

a. Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.

b. Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong.

c. Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru.

d. Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang panjang/matang.

e. Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan hatinya.

f. Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya.

g. Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia salah.

h. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu yang lebih penting.

i. Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih sayang.

j. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam.

k. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat.

l. Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap ilmu.


Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu:

1) Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah.

2) Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan.

3) Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru.

4) Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat.

5) Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu-ilmu terpuji.

6) Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting.

7) Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut.

8) Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia.

9) Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.


Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.


3. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik


Selain dari tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik paling tidak meliputi sepuluh hal.


a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56).

b. Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.

c. Bersikap tawadhu’ (rendah hati).

d. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.

e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.

f. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19).

g. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.

h. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.

i. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.

j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.


Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.

C.Hakekat Peserta Didik

Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kpdrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :
1). Aspek Paedogogis.
Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.
2). Aspek Sosiologi dan Kultural.
Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhlik yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.
3). Aspek Tauhid.
Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius (makhluk yang beragama).
KESIMPULAN
Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.
Seorang pendidik mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa” tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

Sejarah Madzhab Dalam Fiqh Islam

Pengertian dan Sejarah Madzhab Dalam Fiqh Islam

1. Pengertian
Madzhab:
Bahasa: Pendapat , Halauan / aliran, system pemikiran, sesuatu yang diikuti

b. Istilah:
           Paham / aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam Islam yang digali dari ayat-ayat al-qur'an atau hadits yang dapat diijtihadkan.


Ahmad Jazuli:
       Aliran dalam fiqh yang disebabkan oleh terjadinya perbedaan penggunaan metode sehingga berakibat pada perbedaan pendapat dan membentuk kelompok pendukung sebagai penerus Imamnya dan terus berkembang menjadi madzhab tertentu.
       Perbandingan madzhab  merupakan terjemahan dari " ?????? ??????? " atau
“ ??? ????? "


Mahmud Syaltout:
       Perbandingan madzhab adalah identik dengan fiqh muqaran, yaitu:
       “ Mengumpulkan pendapat para Imam mujtahid berikut dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya ".
2. Tujuan
Praktis
     1). Mempelajari dalil ulama dalam
          menjawab suatu permasalahan fiqhiyyah
     2). Menjadikan mantab dalam mengamalkan.
     3). Menjadikan saling menghormati ( ijtihad
          yang berbeda )
     4). Memberikan kesadaran bahwa perbedaan
          itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa
         dihindari.

b. Akademis:
1). Mengetahui pendapat, konsep, teori, dasar, kaidah, metode, teknik dan pendekatan yang digunakan oleh setiap imam madzhab fiqh dalam menggali hukum islam dan penetapan hukumnya.
2). Mengetahui betapa luasnya pemahaman Ilmu fiqh  dan betapa luasnya khazanah hukum Islam yang diwariskan para Imam Madzhab

3. Ruang Lingkup
Seluruh masalah fiqh yang didalamnya terdapat perbedaan pendapat, mencakup materi fiqh, pendapat ulama, dalil, metode ijtihad yang digunakan.
Intinya bukan perbedaan mengenai pokok-pokok aqidah / keyakinan dalam Islam.
4. Urgensi
Memperbandingkan madzhab untuk mendapatkan dalil yang terkuat dan pendapat yang lebih sesuai untuk diterapkan adalah suatu kewajiban dan mengamalkannyapun juga suatu kewajiban, karena hukum yang didapatkan dari hasil perbandingan merupakan hasil penelitian yang lebih obyektif.
5. Sejarah Ilmu perbandingan madzhab
Kaum muslimin menyadari bahwa kemunduran umat islam  merupakan akibat dari perpecahan Umat, maka membuat langkah-langkah untuk mempersatukannya, yang pertama adalah melakukan pendekatan antar madzhab.
Seperti yang telah dilakukan oleh:

Asy-Syarakhsyi ( al-Mabsuth )
Ibn Rusyd ( Bidayatul Mujtahid )
An-Nawawi ( Al-Majmu' )
Ibn Qudamah (al-Mughni )
Al-Maraghi: pertama yang mengusulkan adanya matakuliah perbandingan madzhab di universitas al-azhar ( Mesir ).
Di Perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta, Ilmu perbandingan madzhab merupakan matakuliah yang wajib dipelajari oleh semua mahasiswanya.

6. Sejarah lahirnya madzhab
Proses lahirnya madzhab adalah usaha para pengikut atau pendukung untuk menyebarkan hasil ijtihad imamnya, baik disebarkan melalui lesan maupun tulisan, pengikut hasil ijtihad tersebut semakin bertambah banyak dan membentuk komunitas, dan komunitas tersebut bermadzhab imam ini atau itu.

Lahirnya madzhab dalam fiqh melalui proses yang cukup panjang.
Di mulai dari para shohabat Rosul yang fokus pada ilmu dan hukum, sampai kepada para tabi'in dari berbagai daerah.

Pada masa tabiin dan imam-imam mujtahid, muncul sederetan ulama yang cukup banyak.
Sebagian mereka ada yang membuat metode yang digunakan untuk mengenal hukum-hukum.
Akhirnya semua mempunyai murid dan pengikut yang mengikuti metodenya..... Metode ini yang kemudian dinamakan madzhab.


Ulama-Ulama tersebut diantaranya
adalah:
Madinah:
   Sa'id bin Musayyab, 'Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah, Ibn Syihab Az-Zuhri
Makkah:
   Ibn Abbas, Mujahid, Ibn Jabir, Ikrimah.
Kufah dan Basrah:
   Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Qatadah bin Damam.

Mereka semua sangat berjasa dalam mengembangkan kegiatan ilmiah yang memunculkan generasi-generasi baru.
Generasi baru ini menyebarkan hasil ijtihadnya dan menjadi rujukan hukum bagi yang memerlukannya.

7. Faktor-faktor Yang melatar belakangi Timbulnya madzhab
       Ada beberapa faktor yang menimbulkan
munculnya madzhab:
a. Karena semakin meluasnya kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
b. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab fiqh.
c. kecenderungan masyarakat pada waktu itu untuk memilih salah satu madzhab ketika menghadapi masalah hukum.
d. Permasalahan politik yang tidak mapan, ikut mempengaruhi munculnya kelompok-kelompok seperti dalam madzhab fiqh.
8. Dampak madzhab terhadap perkembangan fiqh
a. Peralihan dari tradisi ijtihad kepada tradisi taqlid.
b. Munculnya kitab-kitab fiqh berdasarkan permintaan penguasa, dan penguasapun  mulai menganut satu madzhab resmi negara. Seperti Kerajaan Abbasiah menggunakan madzhab HANAFI.


c.  Dampak madzhab dalam bentuk penulisan fiqh:
     1.) Matan.
          Mengumpulkan masalah-masalah
          pokok dengan uraian singkat
     2). Syarh.
          Mengomentari / menjelaskan kitab
          matan
     3). Hasyiyah.
          Yang merupakan komentar dari syarh.

d. Munnculnya dua aliran dalam berijtihad, yaitu Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Ar-Ra'yu.
e. Munculnya perubahan makna fiqh, dari bermakna ” Ilmu ” menjadi bermakna " Ilmu yang mengkaji hukum-hukum syara' yang 'amali dari dalil-dalil yang terperinci ”.
            Sebelumnya dikenal dua macam fiqh, yaitu fiqh akbar dan fiqh ashghar.

Sejarah Dan Hikmah Ikhtilaf
1. Sejarah
Fiqh Shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah pemikiran Islam.
           Dari mereka kita mengenal sunnah rosul namun dari mereka pulalah kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum muslim.


Zaman shahabat adalah embrio ilmu fiqh yang pertama.
            Pada zaman rosul, beliaulah yang menyelesaikan perbedaan, sedang pada zaman shohabat, mereka sendirilah yang harus menyelesaikan perbedaan.


c. Perluasan kekuasaan Islampun menimbulkan masalah baru, para ulama di kalangan shahabat meresponnya dengan mengembangkan fiqh / pemahaman mereka.

d. Ijtihad para shahabat merupakan rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.


e. Para ulama ahlu as-sunnah, menetapkan bahwa semua shahabat adalah 'Uduul / baik. Mereka tidak boleh di jarh / cela.


f. Diantara shahabat yang paling penting adalah al-Khulafa' ar-rasyidun
    ( ???????? ????????? )
2. Sebab Ikhtilaf Di kalangan shahabat
a. Adanya permasalahan baru yang muncul setelah rosul wafat dan belum ada prosedur penetapan hukumnya, sehingga memunculkan setidaknya dua pandangan

1).  Otoritas penetapan hukumnya dipegang ahlul bait.
2). Tidak ada orang tertentu  yang di tunjuk untuk menafsirkan dan menetapkan perintah ilahi. Maka Al-Qur'an dan Sunnah lah yang dijadikan rujukan untuk menarik hukum  berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Karena banyaknya masalah yang tidak di jawab secara sharih / lafdzi oleh nash, mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtihad, seperti qiyas dan istihsan.


b. Karena perbedaan pengetahuan yang dimiliki para shahabat. Sebagian mendengarkan sesuatu dari rosul, yang lain tidak

c. Pada masa tabi'in, kedudukan ijtihad di dalam menggali hukum Islam semakin meluas. Musyawarah semakin sulit terjadi karena mereka terpencar ke seluruh wilayah Islam. Apalagi setelah wafatnya kholifah Utsman bin Affan, umat Islam terpecah menjadi 3 golongan. Khawarij, Pendukung Ali ( Syi'atu Ali ), dan pendukung Mu'awiyah. Meskipun pada awalnya merupakan masalah politik, , namun ternyata sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam.

d. Macam-macam Ikhtilaf
1). Ikhtilaf Qulub, yang memunculkan kebencian  dan permusuhan di antara umat Islam. ( Hukumnya haram )
2). Ikhtilaf 'Uqul wa Al-afkar, yang masih bisa di bagi menjadi dua:


a). Dalam masalah ushul / prinsip.
     Ini masuk ketegori iftiraq atau
     tafarruq. ( Hukumnya haram )
b). Dalam masalah furu'.
     Juga di sebut tanawwu'. 
     ( Masih bisa ditolelir )
3. Hakekat
a. Perbedaan antara para ulama mujtahid dalam masalah furu' merupakan hasil sekaligus konsekwensi dari proses ijtihad.
b. Perbedaan dalam masalah furu' adalah fenomena yang normal dan alami, karena dua hal:

1). Tabi'at banyak teks dalil syar'i
2). Tabi'at akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya.

c. Perbedaan dalam masalah furu' adalah fenomena yang sudah terjadi sejak generasi shahabat
    ( salafush-shalih ).
4. Faktor-faktor penyebab ikhtilaf
a. Faktor bahasa Al-Qur'an
      Ex: lafadz yang musytarak
b. Faktor validitas Al-Hadits
     1). Perbedaan dalam penerimaan hadits
     2). Perbedaan dalam menilai periwayatan
          hadits ( ex: hadits tentang sholat tasbih )
     3). Perbedaan dalam menilai kedudukan
          rosul: sebagai rosul dan manusia biasa.

c.  Faktor kaidah Ushuliyah
d.  Faktor kaidah Fiqhiyyah
  Perubahan realita kehidupan,
     situasi, kondisi, tempat,
     masyarakat, dan 
     semacamnya.  
     ( Ex: qaul qadim dan qaul jadid
     dari imam Asy-Syafi'i )
5. Hikmah adanya perbedaan pendapat
Mengasah rasa saling
   menghormati dan menghargai pendapat lain
b. Mengasah intelektualitas umat
    Islam


Ada beberapa cara yang mestinya dilakukan oleh setiap muslim di dalam menyikapi adanya ikhtilaf dalam masalah furu’ / ijtihadiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Membekali diri sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat
3. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf

4.  Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui, tentu bagi yang mampu !

Untuk praktek pribadi, sebaiknya memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam menghindari ikhtilaf , sesuai dengan kaidah:
( ?????? ?? ?????? ?????? )
           

 Contohnya :
      Jika ada pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu hukumnya wajib dan yang lain menyatakan bahwa hukumnya adalah sunnah, maka laksanakanlah sesuatu itu. Karena dengan melaksanakannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada.
      

      Dan sebaliknya jika ada pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu haram dan yang lain berpendapat bahwa ia makruh, maka tinggalkanlah ia. Karena dengan meninggalkannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada.

     Tetapi jika pendapat itu berlawanan sama sekali, misal yang satu mengatakan wajib dan yang lain menyatakan haram, yang satu menyatakan halal dan yang lain menyatakan haram, maka bertanya kepada ahludz dzikri adalah solusinya.

6. Sementara terhadap permasalahan yang berkaitan dengan orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, terutama di bidang mu’amalah, maka diutamakan memilih sikap melonggarkan dan toleran.

Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap mutlak-mutlakan  dalam masalah-masalah furu’ / ijtihadiyah

8.  Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah di sepakati atas masalah-masalah furu’  yang di perselisihkan

9.  Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah – sebagai standar / parameter komitmen seorang muslim
10.Menjaga agar ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tidak berubah menjadi perpecahan !
11.Menyikapi orang lain sebagaimana kita ingin disikapi

12.Tidak menjadikan permasalahan khilafiyah sebagai identitas diri seperti yang sering kita ketahui dalam komunitas masyarakat ini.
            Sering kita melihat sekelompok pemuda yang melihat orang lain hanya dari celananya saja, apakah cingkrang atau tidak. Jika cingkrang, maka ia adalah kelompok kita dan jika tidak maka semua omongannya dianggap ocehan belaka. Dan masih banyak lagi pemandangan yang lain yang cukup memprihatinkan.

13. Bekerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan saling toleransi dalam hal-hal yang diperselisihkan, selama perselisihan itu masih dalam kategori ikhtilaf dan bukan dalam kategori tafarruq.


Al Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari berkata :
            ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”.

2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah)

3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata:
           ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
           ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin”.

5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata:
           ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”.

6.  Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (atau Harun Ar-Rasyid) pernah berkehendak untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut”.

7.  Khalifah Harun Ar-Rasyid berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Abu Hanifah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu.

8.   Imam Ahmad termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib dan Imam Malik bin Anas?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) .

9.  Imam Abu Hanifah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras.

10. Imam Asy-Syafi’i pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah telah wafat tepat ketika Imam Asy-Syafi’i lahir.

Tuesday, July 19, 2011

Ilmu Pendidikan Islam 1

ILMU PENDIDIKAN ISLAM

1.      Antologi
Pendidikan agama isliam kepada orang lain untuk menjadikan orang lain tersebut bias melakukan seperti apa yang diharapkan.
Antopologi ini ini akan menjadikan seseorang untuk selalu :
Ø  Mengkaji apa yang telah ada pada kita, kekurangan-kekurangan yang ada pada kita
Ø  Mempunyai perencanaan
Ø  Membuat evaluasi
Dasar-dasar penunjang Antopologi
v  Al-Qur’an
v  Hadits
v  Ijma
v  Ijtihad
Target Antopologi
Ø  Taqwa
Ø  Ilmu Pengetahuan
Ø  Keterampilan
Ø  Sikap
a.       Jangan kehilangan iman dan taqwa
b.      Tidak segan-segannya untuk menyampaikan suatu yang baik dan meninggalkan sesuatu yang tidak baik,

2.      Estimologi
Target yang diinginkan didalam Epistimologi adalah karena kita sebagai subyek / obyek kita harus selalu mengutamakan hal-hal yang baik.

3.      Aksiologi
Target yang diinginkan
a.       Minimal identik dengan kita mempunyai keimanan yang sama.
4.       

PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM

I.       MENURUT BAHASA         



a.       Rabbaa (                            ) memiliki beberapa arti yaitu mengasuh, mendidik, memelihara Disamping rabbaa ada kata-kata yaitu Rabba (                             ) artinya memiliki, memimpin, memperbaiki, menambah, Rabbaa (                             ) artinya tumbuh berkembang.
Ditinjau dari asal bahasa pengertian Attarbiyahmencakup tiga (3) unsur :
1.      Memelihara pertumbuhan Fitrah Manusia
2.      Mengembangkan potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka macam
3.      Dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan anak.


b.      ‘Allama (                             ) yang masdarnya Ta’liman (                                        ) berarti mengajar yakni lebih  bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan.
Bias dilihat dalam surat :
Ø  Surat Al-Baqoroh Ayat 31
Ø  Surat An-Nahl Ayat 16
Ø  Surat ar-Rahman Ayat 2 dan 4


c.       Addaba (                          ) yang masdarnya Ta’diiban (                        ) juga diartikan mendidik yanglebih tertuju pada penyempurnaan akhlak budi pekerti.

II.    TINJAUAN ISTILAH
Berdasarkan pengertian bahasa tersebut maka pengertian pendidikan menurut pandangan islam disimpulkan :
Pendidikan adalah usaha sadar seseorang di dalam memelihara dan mengembangkan fitroh serta potensi menuju kesempurnaan.

FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

A.    Pengertian Fitrah
Fitrah berasal dari kata Fathara (                       ) yang sepadan dengan kata Khalaqa (                        ) yang artinya menciptakan.
B.     Fitrah Manusia
Fitrah atau pola dasar kejadian manusia dengan sifat-sifat aslinya dapat difahami dengan meninjau :
1.      Hakekat wujud manusia
Manusia yang asmani dan rohani yang paling mulia
2.      Tujuan Penciptaannya
Ø  Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah (Al-Dzariyah 56)
Ø  Manusia diciptakan untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di bumi ( Al-Baqoroh 30, Yunus 14, Al-Anam 165)
Ø  Manusia diciptakan untuk membentuk masyarakat manusia yang saling hormat menghormati dan tolong menolong (Al-Hujurat 13) dalam tugas kekholifahannya.
3.      Sumber daya insane sebagai kelengkapan hidup
C.