Wednesday, July 20, 2011

Sejarah Madzhab Dalam Fiqh Islam

Pengertian dan Sejarah Madzhab Dalam Fiqh Islam

1. Pengertian
Madzhab:
Bahasa: Pendapat , Halauan / aliran, system pemikiran, sesuatu yang diikuti

b. Istilah:
           Paham / aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam Islam yang digali dari ayat-ayat al-qur'an atau hadits yang dapat diijtihadkan.


Ahmad Jazuli:
       Aliran dalam fiqh yang disebabkan oleh terjadinya perbedaan penggunaan metode sehingga berakibat pada perbedaan pendapat dan membentuk kelompok pendukung sebagai penerus Imamnya dan terus berkembang menjadi madzhab tertentu.
       Perbandingan madzhab  merupakan terjemahan dari " ?????? ??????? " atau
“ ??? ????? "


Mahmud Syaltout:
       Perbandingan madzhab adalah identik dengan fiqh muqaran, yaitu:
       “ Mengumpulkan pendapat para Imam mujtahid berikut dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya ".
2. Tujuan
Praktis
     1). Mempelajari dalil ulama dalam
          menjawab suatu permasalahan fiqhiyyah
     2). Menjadikan mantab dalam mengamalkan.
     3). Menjadikan saling menghormati ( ijtihad
          yang berbeda )
     4). Memberikan kesadaran bahwa perbedaan
          itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa
         dihindari.

b. Akademis:
1). Mengetahui pendapat, konsep, teori, dasar, kaidah, metode, teknik dan pendekatan yang digunakan oleh setiap imam madzhab fiqh dalam menggali hukum islam dan penetapan hukumnya.
2). Mengetahui betapa luasnya pemahaman Ilmu fiqh  dan betapa luasnya khazanah hukum Islam yang diwariskan para Imam Madzhab

3. Ruang Lingkup
Seluruh masalah fiqh yang didalamnya terdapat perbedaan pendapat, mencakup materi fiqh, pendapat ulama, dalil, metode ijtihad yang digunakan.
Intinya bukan perbedaan mengenai pokok-pokok aqidah / keyakinan dalam Islam.
4. Urgensi
Memperbandingkan madzhab untuk mendapatkan dalil yang terkuat dan pendapat yang lebih sesuai untuk diterapkan adalah suatu kewajiban dan mengamalkannyapun juga suatu kewajiban, karena hukum yang didapatkan dari hasil perbandingan merupakan hasil penelitian yang lebih obyektif.
5. Sejarah Ilmu perbandingan madzhab
Kaum muslimin menyadari bahwa kemunduran umat islam  merupakan akibat dari perpecahan Umat, maka membuat langkah-langkah untuk mempersatukannya, yang pertama adalah melakukan pendekatan antar madzhab.
Seperti yang telah dilakukan oleh:

Asy-Syarakhsyi ( al-Mabsuth )
Ibn Rusyd ( Bidayatul Mujtahid )
An-Nawawi ( Al-Majmu' )
Ibn Qudamah (al-Mughni )
Al-Maraghi: pertama yang mengusulkan adanya matakuliah perbandingan madzhab di universitas al-azhar ( Mesir ).
Di Perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta, Ilmu perbandingan madzhab merupakan matakuliah yang wajib dipelajari oleh semua mahasiswanya.

6. Sejarah lahirnya madzhab
Proses lahirnya madzhab adalah usaha para pengikut atau pendukung untuk menyebarkan hasil ijtihad imamnya, baik disebarkan melalui lesan maupun tulisan, pengikut hasil ijtihad tersebut semakin bertambah banyak dan membentuk komunitas, dan komunitas tersebut bermadzhab imam ini atau itu.

Lahirnya madzhab dalam fiqh melalui proses yang cukup panjang.
Di mulai dari para shohabat Rosul yang fokus pada ilmu dan hukum, sampai kepada para tabi'in dari berbagai daerah.

Pada masa tabiin dan imam-imam mujtahid, muncul sederetan ulama yang cukup banyak.
Sebagian mereka ada yang membuat metode yang digunakan untuk mengenal hukum-hukum.
Akhirnya semua mempunyai murid dan pengikut yang mengikuti metodenya..... Metode ini yang kemudian dinamakan madzhab.


Ulama-Ulama tersebut diantaranya
adalah:
Madinah:
   Sa'id bin Musayyab, 'Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah, Ibn Syihab Az-Zuhri
Makkah:
   Ibn Abbas, Mujahid, Ibn Jabir, Ikrimah.
Kufah dan Basrah:
   Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Qatadah bin Damam.

Mereka semua sangat berjasa dalam mengembangkan kegiatan ilmiah yang memunculkan generasi-generasi baru.
Generasi baru ini menyebarkan hasil ijtihadnya dan menjadi rujukan hukum bagi yang memerlukannya.

7. Faktor-faktor Yang melatar belakangi Timbulnya madzhab
       Ada beberapa faktor yang menimbulkan
munculnya madzhab:
a. Karena semakin meluasnya kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
b. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab fiqh.
c. kecenderungan masyarakat pada waktu itu untuk memilih salah satu madzhab ketika menghadapi masalah hukum.
d. Permasalahan politik yang tidak mapan, ikut mempengaruhi munculnya kelompok-kelompok seperti dalam madzhab fiqh.
8. Dampak madzhab terhadap perkembangan fiqh
a. Peralihan dari tradisi ijtihad kepada tradisi taqlid.
b. Munculnya kitab-kitab fiqh berdasarkan permintaan penguasa, dan penguasapun  mulai menganut satu madzhab resmi negara. Seperti Kerajaan Abbasiah menggunakan madzhab HANAFI.


c.  Dampak madzhab dalam bentuk penulisan fiqh:
     1.) Matan.
          Mengumpulkan masalah-masalah
          pokok dengan uraian singkat
     2). Syarh.
          Mengomentari / menjelaskan kitab
          matan
     3). Hasyiyah.
          Yang merupakan komentar dari syarh.

d. Munnculnya dua aliran dalam berijtihad, yaitu Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Ar-Ra'yu.
e. Munculnya perubahan makna fiqh, dari bermakna ” Ilmu ” menjadi bermakna " Ilmu yang mengkaji hukum-hukum syara' yang 'amali dari dalil-dalil yang terperinci ”.
            Sebelumnya dikenal dua macam fiqh, yaitu fiqh akbar dan fiqh ashghar.

Sejarah Dan Hikmah Ikhtilaf
1. Sejarah
Fiqh Shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah pemikiran Islam.
           Dari mereka kita mengenal sunnah rosul namun dari mereka pulalah kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum muslim.


Zaman shahabat adalah embrio ilmu fiqh yang pertama.
            Pada zaman rosul, beliaulah yang menyelesaikan perbedaan, sedang pada zaman shohabat, mereka sendirilah yang harus menyelesaikan perbedaan.


c. Perluasan kekuasaan Islampun menimbulkan masalah baru, para ulama di kalangan shahabat meresponnya dengan mengembangkan fiqh / pemahaman mereka.

d. Ijtihad para shahabat merupakan rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.


e. Para ulama ahlu as-sunnah, menetapkan bahwa semua shahabat adalah 'Uduul / baik. Mereka tidak boleh di jarh / cela.


f. Diantara shahabat yang paling penting adalah al-Khulafa' ar-rasyidun
    ( ???????? ????????? )
2. Sebab Ikhtilaf Di kalangan shahabat
a. Adanya permasalahan baru yang muncul setelah rosul wafat dan belum ada prosedur penetapan hukumnya, sehingga memunculkan setidaknya dua pandangan

1).  Otoritas penetapan hukumnya dipegang ahlul bait.
2). Tidak ada orang tertentu  yang di tunjuk untuk menafsirkan dan menetapkan perintah ilahi. Maka Al-Qur'an dan Sunnah lah yang dijadikan rujukan untuk menarik hukum  berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Karena banyaknya masalah yang tidak di jawab secara sharih / lafdzi oleh nash, mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtihad, seperti qiyas dan istihsan.


b. Karena perbedaan pengetahuan yang dimiliki para shahabat. Sebagian mendengarkan sesuatu dari rosul, yang lain tidak

c. Pada masa tabi'in, kedudukan ijtihad di dalam menggali hukum Islam semakin meluas. Musyawarah semakin sulit terjadi karena mereka terpencar ke seluruh wilayah Islam. Apalagi setelah wafatnya kholifah Utsman bin Affan, umat Islam terpecah menjadi 3 golongan. Khawarij, Pendukung Ali ( Syi'atu Ali ), dan pendukung Mu'awiyah. Meskipun pada awalnya merupakan masalah politik, , namun ternyata sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam.

d. Macam-macam Ikhtilaf
1). Ikhtilaf Qulub, yang memunculkan kebencian  dan permusuhan di antara umat Islam. ( Hukumnya haram )
2). Ikhtilaf 'Uqul wa Al-afkar, yang masih bisa di bagi menjadi dua:


a). Dalam masalah ushul / prinsip.
     Ini masuk ketegori iftiraq atau
     tafarruq. ( Hukumnya haram )
b). Dalam masalah furu'.
     Juga di sebut tanawwu'. 
     ( Masih bisa ditolelir )
3. Hakekat
a. Perbedaan antara para ulama mujtahid dalam masalah furu' merupakan hasil sekaligus konsekwensi dari proses ijtihad.
b. Perbedaan dalam masalah furu' adalah fenomena yang normal dan alami, karena dua hal:

1). Tabi'at banyak teks dalil syar'i
2). Tabi'at akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya.

c. Perbedaan dalam masalah furu' adalah fenomena yang sudah terjadi sejak generasi shahabat
    ( salafush-shalih ).
4. Faktor-faktor penyebab ikhtilaf
a. Faktor bahasa Al-Qur'an
      Ex: lafadz yang musytarak
b. Faktor validitas Al-Hadits
     1). Perbedaan dalam penerimaan hadits
     2). Perbedaan dalam menilai periwayatan
          hadits ( ex: hadits tentang sholat tasbih )
     3). Perbedaan dalam menilai kedudukan
          rosul: sebagai rosul dan manusia biasa.

c.  Faktor kaidah Ushuliyah
d.  Faktor kaidah Fiqhiyyah
  Perubahan realita kehidupan,
     situasi, kondisi, tempat,
     masyarakat, dan 
     semacamnya.  
     ( Ex: qaul qadim dan qaul jadid
     dari imam Asy-Syafi'i )
5. Hikmah adanya perbedaan pendapat
Mengasah rasa saling
   menghormati dan menghargai pendapat lain
b. Mengasah intelektualitas umat
    Islam


Ada beberapa cara yang mestinya dilakukan oleh setiap muslim di dalam menyikapi adanya ikhtilaf dalam masalah furu’ / ijtihadiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Membekali diri sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat
3. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf

4.  Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui, tentu bagi yang mampu !

Untuk praktek pribadi, sebaiknya memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam menghindari ikhtilaf , sesuai dengan kaidah:
( ?????? ?? ?????? ?????? )
           

 Contohnya :
      Jika ada pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu hukumnya wajib dan yang lain menyatakan bahwa hukumnya adalah sunnah, maka laksanakanlah sesuatu itu. Karena dengan melaksanakannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada.
      

      Dan sebaliknya jika ada pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu haram dan yang lain berpendapat bahwa ia makruh, maka tinggalkanlah ia. Karena dengan meninggalkannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada.

     Tetapi jika pendapat itu berlawanan sama sekali, misal yang satu mengatakan wajib dan yang lain menyatakan haram, yang satu menyatakan halal dan yang lain menyatakan haram, maka bertanya kepada ahludz dzikri adalah solusinya.

6. Sementara terhadap permasalahan yang berkaitan dengan orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, terutama di bidang mu’amalah, maka diutamakan memilih sikap melonggarkan dan toleran.

Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap mutlak-mutlakan  dalam masalah-masalah furu’ / ijtihadiyah

8.  Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah di sepakati atas masalah-masalah furu’  yang di perselisihkan

9.  Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah – sebagai standar / parameter komitmen seorang muslim
10.Menjaga agar ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tidak berubah menjadi perpecahan !
11.Menyikapi orang lain sebagaimana kita ingin disikapi

12.Tidak menjadikan permasalahan khilafiyah sebagai identitas diri seperti yang sering kita ketahui dalam komunitas masyarakat ini.
            Sering kita melihat sekelompok pemuda yang melihat orang lain hanya dari celananya saja, apakah cingkrang atau tidak. Jika cingkrang, maka ia adalah kelompok kita dan jika tidak maka semua omongannya dianggap ocehan belaka. Dan masih banyak lagi pemandangan yang lain yang cukup memprihatinkan.

13. Bekerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan saling toleransi dalam hal-hal yang diperselisihkan, selama perselisihan itu masih dalam kategori ikhtilaf dan bukan dalam kategori tafarruq.


Al Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari berkata :
            ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”.

2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah)

3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata:
           ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
           ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin”.

5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata:
           ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”.

6.  Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (atau Harun Ar-Rasyid) pernah berkehendak untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut”.

7.  Khalifah Harun Ar-Rasyid berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Abu Hanifah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu.

8.   Imam Ahmad termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib dan Imam Malik bin Anas?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) .

9.  Imam Abu Hanifah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras.

10. Imam Asy-Syafi’i pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah telah wafat tepat ketika Imam Asy-Syafi’i lahir.